Senin, 10 Januari 2011

PERLEMBAGAAN AGAMA

Pelembagaan agama
sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.
Heterogenitas agama pada suatu masyarakat/bangsa, sangat rentan untuk terjadinya konflik. Konflik yang terjadi karena masalah ini, seringkali menjadi sumber terjadinya konflik yang lebih besar, dan berpotensi untuk terjadinya disintegrasi suatu bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa masalah agama merupakan masalah yang paling mudah untuk dijadikan sasaran provokasi, baik yang berasal dari dalam kelompok maupun dari kelompok lain. Hal ini tampak dari konflik yang terjadi di berbagai wilayah akhir-akhir ini, yang selalu dikaitkan dengan masalah agama.
Heterogenitas agama di wilayah Indonesia, sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dulu, tepatnya sejak zaman Majapahit. Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah hampir sama dengan wilayah NKRI sekarang, juga terdiri dari banyak suku dan agama. Sifat agama dari kerajaan Majapahit dapat dilihat dari banyaknya peninggalan yang sudah diketemukan, yang sebagian besar mempunyai latar belakang agama. Sehubungan dengan hal tersebut.
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia masa lampau. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan yang telah diketemukan hingga saat ini, baik yang berupa peninggalan yang bersifat monumental, maupun peninggalan-peninggalan yang berupa naskah atau prasasti. Meskipun demikian, beberapa peninggalan yang sudah diketemukan, masih banyak yang elum diidentifikasi dan belum dapat dijelaskan keberadaannya. Oleh karenanya, penelitian mengenai kerajaan Majapahit ini masih sangat terbuka, baik yang bersifat pendahuluan maupun penelitian-penelitian lanjutan yang pernah dilakukan sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pembahasan masalah fungsi agama pada masa kejayaan Majapahit ini diharapkan dapat memberi gambaran kehidupan keagamaan pada masa kejayaan Majapahit, terutama mengenai fungsi dan peranannya di dalam penyelenggaraan Negara. Guna mencapai tujuan tersebut, kajian ini akan membentangkan suatu pemikiran yang mengacu pada suatu kerangka analisis yang dapat dipakai untuk lebih memahami unsur-unsur dan aspekaspek keagamaan yang pernah ada dan berkembang pada masa kejayaan Majapahit. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat positif sebagai sumbangan data dan pemikiran tentang fungsi dan peran agama dalam suatu pemerintahan di masa lampau. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peninggalanpeninggalan yang berasal dan masa yang bersangkutan. Harapan ini tidaklah berlebihan, karena peninggalan-peninggalan dari masa kejayaan Majapahit, hampir semuanya berhubungan dengan
pemerintahan pada masa itu.
Oleh karena data yang digunakan semuanya berupa peninggalan purbakala, baik yang berupa naskah, prasasti, relief maupun peninggalan purbakala lainnya, maka pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pendekatan arkeologis. Sedangkan dalam menganalisa data untuk mendapatkan jawaban permasalahan, digunakan pendekatan structural-fungsionalisme, dengan harapan dapat memperoleh gambaran tentang fungsi dari masing-masing sistem dan subsistem yang terkait t dengan pemerintahan pada waktu itu.
Berdasarkan sumber sejarah dan peninggalan-peninggalan yang sudah ditemukan, dapat diketahui bahwa agama, yang dalam hal ini diartikan sebagai norma atau aturan yang menjamin agar hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau, memiliki peran yang sangat penting di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai suatu negara yang bersifat kosmis, agama difungsikan sebagai tuntunan atau pedoman di dalam menyusun birokrasi pemerintahan. Suatu kerajaan yang dianggap sebagai jagat kecil (mikrokosmos), menempatkan pejabat-pejabat pemerintahan dan para penguasa daerah seperti dewa-dewa lokapala, sehingga keseimbangan (equilibrium) antara makrokosmos dan mikrokosmos dapat tercapai. Di samping itu, agama juga difungsikan sebagai sarana legitimasi oleh para penguasa. Raja Jayanagara yang mengawali masa kejayaan Majapahit, melegitimasi dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Di dalam beberapa prasasti yang sudah ditemukan, Jayanagara menggunakan symbol (lancana) ikan/mina (matsya). Malaya atau ikan ini merupakan salah satu awatara dewa Wisnu. Pelegitimasian yang dilakukan oleh Jayanagara ini berhubungan dengan situasi politik pada waktu itu, terutama yang terkait dengan usaha dan keberhasilan Jayanagara di dalam menghalau dan mengembalikan takhta kerajaan, yang sebelumnya dipenuhi dengan serangkaian pemberontakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh raja Tribhuwanatunggadewi, yang juga menggunakan nama Wisnu di dalam abhisekanama-nya. Raja Hayamwuruk, meskipun tidak menggunakan unsur dewa dalam nama gelarnya, tetapi juga memanfaatkan agama di dalam melegitimasi dirinya. Usaha Hayamwuruk dalam melegitimasi diri dilakukan dengan cara memberikan penghormatan terhadap para leluhur, dan mengakui serta mengakomodasi seluruh komponen agama yang ada dan berkembang pada masa pemerintahannya. Upacara-upacara ritual, seperti upacara Sraddha, dan pembangunan serta membangun kembali candi-candi tempat pendarmaan pendahulunya, merupakan bentuk nyata dari raja Hayamwuruk yang memanfaatkan agama sebagai sarana legitimasi.
Di samping sebagai sarana legitimasi, agama juga memiliki fungsi sebagai sarana integrasi. Secara politis, penempatan tokoh-tokoh agama di dalam birokrasi pemerintahan merupakan suatu bentuk nyata dari usaha untuk mempersatukan perbedaan yang ada. Mpu Tantular, sebagai pujangga
kraton, membuktikan adanya pengakuan dan pengakomodasian berbagai agama yang ada dengan memunculkan semboyan yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, seperti yang tertulis dalam salah satu karyanya yang berjudul Sutasoma. Bentuk integrasi di tingkat kerajaan ini juga ditunjukkan dengan adanya toleransi antar kelompok agama. Toleransi antar agama tampak dari bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki sifat dari dua atau lebih kelompok/sekte agama. Pembangunan dan pemugaran beberapa candi yang dilakukan oleh raja Hayamwuruk, seperti candi Jago, candi Jawi, candi Panataran dan beberapa candi lain yang memiliki dua atau lebih ciri kelompok agama, merupakan bukti nyata dari fungsi agama tersebut. Di dalam kehidupan bermasyarakat, agama juga memiliki fungsi sebagai pengendali sosial. Di tingkat pusat, secara nyata kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit diambil dari kitab agama, yang dikenal dengan nama Kutaramanawadarmasastra. Kitab yang merupakan perpaduan dari naskah-naskah India dan disesuaikan dengan situasi politik dan sosial masyarakat Majapahit ini dijadikan kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit. Di samping itu, adanya sapatha yang selalu mengikuti sebuah ketetapan hukum, merupakan kontrol sosial yang sekaligus menjadi pengendali sosial, sehingga ketetapan dari suatu putusan dapat dijamin pelaksanaannya. Fungsi agama sebagai pengendali sosial, atau fungsi agama di bidang peradilan ini juga ditunjukkan dengan penempatan tokoh-tokoh agama sebagai pejabat peradilan. Kenyataan ini membuktikan bahwa agama memiliki fungsi yang cukup penting di dalam sistem peradilan Majapahit, terutama sebagai kontrol atau pengendali sosial, sehingga hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungan alam serta manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau. Fungsi agama sebagai sarana pengendali sosial ini cukup efektif, terbukti dengan tidak adanya gejolak politik maupun gejolak sosial yang muncul pada masa s pemerintahan raja Hayamwuruk.
Di samping memiliki fungsi atau difungsikan oleh para penguasa, agama juga memiliki peran yang cukup besar dalam bidang sosial. Hal ini dapat dilihat dari fungsi agama dalam bidang politik, ekonomi maupun dalam kehidupan masyarakat umum. Dalam bidang politik, agama berfungsi sebagai penyeimbang dalam penyusunan birokrasi pemerintahan. Keberadaan tokoh-tokoh agama di dalam susunan birokrasi pemerintahan dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai golongan agama dalam masyarakat. Hal ini sangat perlu, karena sebuah negara dengan berbagai kelompok agama merupakan kerawanan tersendiri, atau merupakan sumber konflik terbesar apabila tidak diatasi sejak dini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tokoh-tokoh agama dalam birokrasi pemerintahan ditempatkan pada jabatan yang berhubungan dengan masalah pengendalian sosial. Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka kerajaan Majapahit tidak dapat meninggalkan hal-hal yang bersifat spiritual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upacara-upacara ritual selalu mewarnai dalam kegiatan pertanian. Penghitungan musim yang didasarkan pada gejala alam, kegiatan pertanian yang selalu dimulai dengan upacara ritual, masa panen yang juga selalu dimulai dengan upacara-upacara ritual, sampai dengan pengakuan dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang dikaitkan dengan tanaman padi, merupakan bukti nyata bahwa agama memiliki fungsi dan peran yang cukup besar dalam bidang pertanian.
Dalam bidang perdagangan, agama juga memiliki fungsi dan peran yang cukup penting, meskipun tidak secara nyata seperti dalam bidang pertanian. Dalam bidang perdagangan, agama berfungsi sebagai pengontrol hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli. Pada masa kejayaan Majapahit, perdagangan tidak merupakan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga merupakan kegiatan sosial. Hal ini tampak dari sistem perdagangan di daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima, dimana
perdagangan dibatasi, baik mengenai jumlah maupun jenis dagangannya. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini semakin ketat pada daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima yang disebabkan karma daerah tersebut terdapat bangunan suci. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini apabila diperhatikan secara seksama, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam, sehingga hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya tetap harmonis. Demikian pula hasil pajak atau denda dari pelanggaran sistem perdagangan, sebagian juga diperuntukkan bagi kepentingan bangunan suci. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama, meskipun tidak secara eksplisit, memiliki fungsi dan peran yang cukup besar di dalam sistem perdagangan yang berlangsung pada waktu itu. Peran dan fungsi agama ini semakin nyata dengan diaturnya sistem perdagangan di dalam kitab perundang-undangan agama.
Sedangkan di dalam bidang perindustrian, agama berperan sebagai pengendali teknologi, sehingga perlakuan manusia terhadap peralatan yang digunakan tidak semena-mena. Anggapan terhadap peralatan industri yang memiliki sifat kedewaan dan upacara ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan, merupakan bukti nyata dari peran agama dalam bidang perindustrian.
Kecenderungan masyarakat untuk tidak melepaskan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan dan teknologi ini merupakan bukti bahwa masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang religius.
Sebagai masyarakat religius, maka kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan. Di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga masyarakat. Mengenai jarak sosial, yang biasanya disebabkan karena identitas kelompok maupun kedudukan salah satu kelompok agama di dalam masyarakat yang mengakibatkan kecemburuan antar kelompok agama, dapat diminimalisasikan dengan pengakuan seluruh agama yang ada serta pemberian hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan. Sedangkan mengenai integrasi sosial, masing-masing kelompok memberi pengakuan terhadap kelebihan dari kelompok lain. Adanya satu bangunan suci (candi) yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dalam bidang agama. Hal ini juga merupakan bukti adanya toleransi antar kelompok agama, yang pada akhirnya akan memunculkan bentuk-bentuk budaya yang diberi warna agama.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pada masa kejayaan Majapahit, masyarakatnya bersifat agamis, dalam arti segala kegiatan dan kehidupannya diwarnai unsur agama. Pemerintah yang menyadari keanekaragaman agama yang ada dan berkembang pada waktu itu, memanfaatkan secara maksimal fungsi agama, dan mengakui peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada kenyataannya, agama dapat memberi sumbangan yang cukup besar dalam menuju puncak kejayaan, dan kerajaan Majapahit telah membuktikannya.

Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis.
Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan. Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:
1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.
4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.
Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).
Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati. Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.
( di kutip dari google,dari blog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar