Rabu, 22 Januari 2014

Tugas ke-4 (macam-macam cyber)


1. Gambarkan dan jelaskan dengan selengkapnya, macam macam cyber di bawah ini.  
A. CYBER LAW
Hukum Siber (Cyber Law) adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Di internet hukum itu adalah cyber law, hukum yang khusus berlaku di dunia cyber. Secara luas cyber law bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku, pemegang hak cipta, rahasia dagang, paten, dan masih banyak lagi.

Ruang Lingkup Cyberlaw, Menurut Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber law :
  1. Hak Cipta (Copy Right) 
  2. Hak Merk (Trademark)
  3. Pencemaran nama baik (Defamation)
  4. Hate Speech
  5. Hacking, Viruses, Illegal Access
  6. Regulation Internet Resource
  7. Privacy
  8. Duty Care
  9. Criminal Liability
  10. Procedural Issues (Jurisdiction, Investigation, Evidence, etc)
  11. Electronic Contract
  12. Pornography
  13. Robbery
  14. Consumer Protection E-Commerce, E- Government

Topik-topik Cyber Law, Secara garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
  1. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik. 
  2. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
  3. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
  4. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet. 
  5. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Asas-asas Cyber Law, dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
  1. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. 
  2. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
  3. Nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
  4. Passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
  5. Protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
  6. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.

Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.

Tujuan Cyber Law, Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.

http://demo.hkpeernet.com/cyber.law.firm/example.poster.jpg

B. CYBER SPACE
Cyberspace berakar dari kata latin Kubernan yang artinya menguasai atau menjangkau. Sedangkan kata Cyberspace pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fantasi ilmiahnya Neuromancer yang terbit pada tahun 1984. Perkembangan cyberspace telah mempengaruhi kehidupan sosial pada berbagai tingkatannya. Keberadaan cyberspace tidak saja telah menciptakan perubahan sosial yang sangat mendasar. Pengaruh cyberspace terhadap kehidupan sosial setidaknya tampak pada tiga tingkat : individu, antar individu, dan komunitas.
 
Pada tingkat individu, cyberspace menciptakan perubahan mendasar dalam pemahaman kita tentang diri dan identitas. Struktur cyberspace membuka ruang yang lebar bagi setiap orang untuk secara artifisial menciptakan konsep tentang diri dan identitas. Kekacauan identitas akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang. Bila setiap orang bisa menjadi siapapun, sama artinya semua orang bisa menjadi beberapa orang yang berbeda pada saat yang sama. Pada akhirnya yang ada dalam cyberspace adalah permainan identitas: identitas baru, identitas palsu, identitas ganda, identitas jamak.

Tingkat interaksi antarindividu, hakikat cyberspace sebagai sebagai dunia yang terbentuk oleh jaringan (web) dan hubungan (connection) bukan oleh materi. Kesalingterhubungan dan kesalingbergantungan secara virtual merupakan ciri daricyberspace. Karena hubungan, relasi, dan interaksi sosial di dalam cyberspacebukanlah antarfisik dalam sebuah wilayah atau teritorial, yaitu interaksi sosial yang tidak dilakukan dalam sebuah teritorial yang nyata.
Pada tingkat komunitas, cyberspace dapat menciptakan satu model komunitas demokratis dan terbuka. Karena komunitas virtual dibangun bukan di dalam teritorial yang konkret, maka persoalan didalamnya adalah persoalan normatif, pengaturan, dan kontrol. Dalam komunitas virtual cyberspace, pemimpin, aturan main, kontrol sosial tersebut tidak berbentuk lembaga, sehingga keberadaannya sangat lemah. Jadi, di dalamnya, seakan-akan “apa pun boleh”.

http://beth.typepad.com/photos/uncategorized/web2cyberspace.jpg


C. CYBER ETHICS THEORY

Cyber ethic adalah aturan tidak tertulis yang menjadi aturan main bagi netter di seluruh dunia. Filosofi berinteraksi dalam dunia maya adalah berinteraksi dengan kemungkinan terbesar tanpa pernah bertemu fisik secara langsung. Sementara dalam interaksi itu tentu ada nilai-nilai yang harus dihargai menyangkut karya cipta orang lain yang dipublikasikan melalui internet. Untuk itulah maka cyber ethic menjadi hal yang penting untuk dikembangkan.

Kampus dan sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan dapat menjadi gerbang awal pengenalan cyber ethic. Partisipasi aktif dari staf pengajar, mahasiswa, siswa atau inkubator riset dan penelitian sangat diharapkan secara nyata dalam mendarahdagingkan cyber ethic di dunia kampus dimulai dengan menerapkan pola komunikasi berbasis cyber sehingga nantinya seisi komunitas kampus diharapkan bukan hanya mengenali namun juga mentaati cyber ethic yang pada muaranya bisa digunakan sebagai pagar-pagar pembatas dalam berinteraksi dalam dunia maya secara global.

Pemicu-pemicu akan terjadinya kejahatan cyber atau pelanggaran cyber ethic umumnya adalah:
  1. Motivasi pembuktian diri untuk pengakuan dari orang lain atau kesenangan Pada faktor ini, tampak bahwa pelaku ingin membuktikan keahliannya di bidang TI kepada orang lain. Bentuk kejahatan atau pelanggaran ethic yang dapat dilakukan misalnya menyerang situs (hacking) dan mengubah sebagian isi (content) sehingga informasi yang ditampilkan akan menyesatkan pengunjungnya. Bisa juga mengirimkan email dengan attachment yang sudah mengandung virus yang telah diciptakannya agar orang tahu bahwa virus tersebut adalah buatannya.
  2. Dorongan untuk melakukan ‘peperangan tanpa batas’ Orang-orang yang memiliki motivasi ini adalah orang-orang terpelajar yang saling menyerang satu sama lain. Pelanggaran yang dilakukan misalnya membuat situs yang isinya menyerang atau memberi informasi yang merugikan suatu pihak secara spesifik atas perbuatan yang dilakukan pihak lawan. Pada waktu Indonesia dituduh melakukan atau membiarkan kekerasan dan perkosaan yang terjadi atas saudara-saudara kita etnis China di sini pada Mei 1998, puluhan atau ratusan hackers dari China daratan dan perantauan serta simpatisannya di seluruh dunia melakukan pembobolan halaman-halaman utama situs-situs Indonesia. Akibatnya, beberapa tampilan wajah situs dimasuki gangguan para hackers. Sementara pada waktu Australia melakukan sweeping terhadap warga Muslim Indonesia minggu-minggu setelah ledakan bom Bali, para hackers Indonesia melakukan penetrasi gangguan ke banyak situs Australia. Tidak jelas akibat-akibat apa yang ditimbulkan oleh serangan hackers tersebut. Laporan yang diterima hanya terbatas kerusakan pada tampilan muka dan halaman utama saja.
  3. Motivasi mencari keuntungan ekonomis Faktor ini sangat jelas tujuannya yaitu untuk ‘mensejahterakan’ pelakunya dengan keuntungan ekonomis yang didapat. Duplikasi situs seperti BCA dapat dikatakan terpicu pada motivasi ini. Dengan informasi banking yang telah diperoleh maka pelaku dapat melakukan transaksi keuangan seperti transfer ke rekeningnya pribadi atau milik orang lain yang masih kerabatnya –terlepas dari pengakuan pelaku bahwa tidak satu pun rekening dan pin yang telah digunakan untuk bertransaksi.

http://www.satc-cybercafe.net/wp-content/uploads/2012/10/CyberEthics1.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar